selamat Datang

silahkan baca,,silahkan ambil ilmunya semoga bermanfaaat..

Rabu, 09 Februari 2011

PERANAN BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN DALAM PENGENDALIAN OPT

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan.
Tungro merupakan salah satu penyakit penting tanaman padi yang menjadi penghambat dalam peningkatan stabilitas produksi padi. Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, di antaranya dengan penerapan teknologi pengendalian penyakit tungro terpadu yang bertujuan untuk mencegah atau menghindarkan pertanaman dari penularan tungro dengan komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan, dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian, teknologi tersebut kurang sesuai untuk daerah dengan pola tanam tidak serempak, sehingga dikembangkan strategi pengendalian penyakit tungro dengan eliminasi RTSV. Perkembangan bioteknologi berbasis biologi molekuler dapat digunakan untuk membantu dalam pengendalian penyakit tungro melalui pendekatan biologi, ekologi, dan epidemiologi penyakit tungro. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah melahirkan berbagai teknik yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya diagnosis penyakit tungro, deteksi dini infeksi virus tungro dan vektor infektif, identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau, pemantauan terjadinya resistensi wereng hijau terhadap suatu varietas, munculnya strain virus tungro dan biotipe wereng hijau yang baru, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau, perakitan varietas tahan berdasarkan sifat ketahanannya terhadap virus tungro dan wereng hijau serta perakitan varieta transgenik tahan virus tungro. Hal tersebut merupakan tantangan sekaligus.
Asia lainnya seperti India, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand (Ling 1979, Suranto 2004). Di Indonesia, kehilangan hasil padi akibat penyakit tungro dalam kurun waktu 1996-2002 mencapai 12.078 t/tahun atau senilai Rp 12-15 milyar (Soetarto et al. 2001). Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, di antaranya dengan penerapan teknologi pengendalian penyakit tungro secara terpadu yang bertujuan untuk mencegah atau menghindarkan pertanaman dari ancaman tungro (escape strategy) dengan komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan, dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian, tidak semua komponen dapat diterapkan, waktu tanam tepat kurang sesuai untuk daerah dengan pola tanam tidak serempak, ketersediaan varietas tahan masih terbatas, sehingga tidak mencukupi untuk pewilayahan dan distribusi berdasarkan sifat ketahanan spesifik lokasi. Perbedaan geografis dan intensitas interaksi virus tungro dan wereng hijau dengan varietas menyebab- kan adanya variasi genetik strain virus tungro dan biotipe wereng hijau. Oleh karena itu, pengendalian penyakit tungro harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti tingkat ketahanan varietas, kepadatan populasi dan efisiensi penularan oleh wereng hijau, penyebaran virus, ketersediaan sumber inokulum, kondisi lingkungan dan sosioekonomi petani (Hasanuddin et al. 2001). Implementasi bioteknologi berbasis biologi molekuler sangat membantu pengendalian penyakit tungro berdasarkan aspek biologi, ekologi dan epidemiologi penyakit. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah melahirkan berbagai teknik yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya (1) diagnosis penyakit tungro, (2) deteksi dini infeksi virus tungro dan vektor infektif (mengetahui keberadaan sumber inokulum dan penularan- nya), (3) identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau (keragaman genetik virus tungro dan biotipe wereng hijau berdasarkan perbedaan virulensi virus tungro, efisiensi penularan oleh wereng hijau dan perbedaan geografis), (4) pemantauan resistensi wereng hijau terhadap suatu varietas dan munculnya strain virus tungro dan biotipe wereng hijau yang baru, (5) karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau (keragaman genetik varietas berdasarkan tingkat ketahanannya), dan (6) perakitan varietas tahan berdasarkan sifat ketahanannya terhadap virus tungro dan wereng hijau (varietas tahan spesifik lokasi) serta perakitan varietas transgenik tahan virus tungro.
Beberapa teknik molekuler atau teknologi DNA yang banyak digunakan dalam penelitian dan pengelolaan hama dan penyakit tanaman dan pengembangan pemuliaan tanaman di antaranya (1) restriction fragment length polymorphism (RFLP) yaitu markah berdasarkan hibridisasi DNA, (2) randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) dan amplified fragment length polymorphism (AFLP), yaitu markah yang diidentifikasi menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer (Garcia et al. 2004) dan 3) sequence tagged sites (STS), sequence characterized amplified regions (SCARs), simple sequence repeat (SSRs) atau mikrosatelit (microsatellites) dan single nucleotide polymorphism (SNPs), yaitu markah berdasarkan PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik pada DNA target (Azrai 2005). Berdasarkan tujuan, target, efisiensi, dan efektifitasnya, terdapat beberapa modifikasi teknik PCR, di antaranya reversed transcription-PCR (RT-PCR), repetitive-PCR (Rep-PCR), loop-mediated isothermal amplification (LAMP), dan RT-LAMP (Mori et al. 2006). Perkembangan rekayasa genetic melalui metode kloning DNA dan teknologi rekombinan DNA memungkinkan gen tunggal dari suatu varietas dapat ditransfer ke varietas yang lain (teknologi varietas transgenik).


B. ISI
PRINSIP DASAR BIOTEKNOLOGI DAN CONTOH PENERAPAN DALAM BIDANG PERTANIAN
Perakitan Varietas Tahan Penyakit Tungro
Penanaman varietas tahan virus tungro dan wereng hijau merupakan komponen yang paling efektif dalam pengendalian tungro (Sama 1985, Loebenstein and mGera 1993, Daradjat et al. 1999). Ketahanan varietas terhadap virus tungro akan menekan intensitas penyakit dan ketahanan terhadap wereng hijau akan menekan penularan virus tungro. Namun demikian, varietas tahan tidak boleh ditanam terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vector dan memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru (Daradjat et al. 1999). Durabilitas ketahanan varietas terhadap wereng hijau dan virus tungro dipengaruhi oleh variasi biotipe wereng hijau dan virulensi virus tungro (Widiarta dan Kusdiaman 2002).
Keragaman ketahanan genetik varietas akan meningkatkan durabilitas ketahanan varietas, menurunkan tekanan seleksi wereng hijau dan virus tungro, serta mencegah terjadinya epidemi penyakit tungro. Oleh karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahan dan strain virus tungro harus terus-menerus dilakukan (Hasanuddin et al. 2001). Pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada perakitan varietas tahan virus terutama RTSV karena dapat menghambat penyebaran RTBV, oleh wereng hijau, sehingga tidak terjadi infeksi ganda (Widiarta et al. 2004). Di Indonesia, telah dilepas beberapa varietas tahan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo (Daradjat et al. 2004) dan telah diperoleh pula 29 galur tahan tungro (Muliadi dan Praptana 2005). Varietas dan galur tersebut merupakan hasil seleksi berdasarkan pengamatan fenotipik dengan berbagai tingkat ketahanan. Pada masa
mendatang diperlukan identifikasi pada tingkat molekuler untuk memperoleh informasi keberadaan gen tahan yang menunjukkan suatu varietas atau galur mempunyai sifat ketahanan sebagai tetua dalam persilangan selanjutnya. Varietas ARC 11554, Utri Merah, Habiganj DW8, dan Utri Rajapan merupakan sumber ketahanan terhadap RTSV dan RTBV (Choi 2004). Utri Merah memiliki sejumlah gen yang mampu menghambat perkembangan partikel RTBV dan dua gen resesif yang mengendalikan ketahanan terhadap RTSV. Salah satu gen resesif dari Utri Merah bersifat alelik dengan gen ketahanan yang bersifat resesif pada Utri Rajapan (Shahjahan et al. 1990).
Uji kesesuaian tetua tahan terhadap penyakit tungro perlu dilakukan dengan adanya keragaman strain virus tungro dan biotipe wereng hijau. Hasil penelitian menunjukkan varietas ARC 15544, Utri Merah, dan Utri Rajapan tahan terhadap strain virus tungro dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara (Praptana et al. 2005). Telah diketahui pula 10 varietas padi lokal dari Nusa Tenggara Barat tahan terhadap penyakit tungro (Praptana dan Muliadi 2006). Perakitan varietas dengan sumber tetua tahan penyakit tungro dan varietas yang disukai di suatu daerah perlu dilakukan untuk memperoleh varietas tahan spesifik lokasi. Pemanfaatan teknik molekuler dalam penelusuran sifat ketahanan varietas dan seleksi dalam persilangan sangat mendukung percepatan perakitan varietas tahan penyakit tungro.

Perakitan Varietas Padi Transgenik Tahan Virus Tungro
Pemuliaan tanaman padi berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit tungro diarahkan pada perakitan varietas baru dengan spektrum ketahanan yang lebih luas dan durabilitas yang lebih tinggi. Perakitan varietas tahan wereng hijau dapat dilakukan dengan penumpukan (pyramiding) gen ketahanan untuk meningkatkan durasi ketahanan dengan memanfaatkan markah molekuler (Wang et al. 2004). Perkembangan teknologi rekombinan DNA membuka peluang perakitan tanaman tahan virus tungro melalui rekayasa genetik.
Berdasarkan faktor patogenisitas virus tungro dan penyakit tungro diharapkan dapat dilakukan perakitan varietas transgenik tahan virus tungro melalui teknologi transformasi. Perakitan varietas transgenik dapat dilakukan dengan mentrasfer gen dari virus ke tanaman yang umum dinamakan dengan pathogenderived resistance (PDR). PDR yang dapat digunakan dalam perakitan varietas transgenik di antaranya adalah coat protein-mediated resistance (CP-MR), replicase protein-mediated resistance (Rep-MR), movement protein-mediated resistance (MP-MR), satellite RNA (sat RNA) dan defective-interfering viral nucleic acids (Dasgupta et al. 2003). Biologi molekuler sangat diperlukan dalam perakitan varietas transgenik, di antaranya dalam konstruksi dan rekonstruksi plasmid, konfirmasi keberadaan transgen dan ekspresi dari gen yang ditransfer, serta kestabilannya dalam genom tanaman target (Bahagiawati 2004). Terdapat dua teknik transformasi yang telah umum digunakan yaitu transformasi langsung melalui Agrobacterium tumifaciens dengan mikroinjeksi, elektroporasi, dan penembakan partikel. Sistem transformasi dengan A. tumifaciens lebih banyak digunakan karena relatif lebih murah, efisien dan stabil dalam mengintroduksikan suatu gen (Siemens and Schieder 1996). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses transformasi dengan A. tumifaciens adalah transfer T-DNA ke dalam inti target, integrasi T-DNA pada genom tanaman target, dan ekspresi gen yang ditranfer (Sheng and Citovsky 1996).
Beberapa tahapan dalam perakitan varietas transgenik tahan virus dengan transformasi melalui A. tumifaciens adalah: (a) mengkontruksi plasmid (plasmid yang sudah tersedia, Ti-vector) dengan mentransfer gen CP beserta promotor dan terminator; (b) menyeleksi plasmid terkonstruksi dengan marker; (c) mentransfer plasmid ke A. tumifaciens; (d) transformasi oleh A. tumifaciens pada embryogenic tissue dengan metode liquid-phase wounding; dan (e) seleksi putative transformed somatic embryos sehingga diperoleh putative transgenic. Penggunaan teknik PCR untuk mendeteksi keberadaan transgene pada putative transgenic dengan primer spesifik menghasilkan putative transgenic sebagai materi pengujian. Selanjutnya dilakukan inokulasi virus dan pengamatan fenotipik berdasarkan waktu kemunculan gejala dan persentase putative transgenic yang bergejala. Kemungkinannya akan diperoleh putative transgenic dengan berbagai tingkatan ketahanan yaitu peka, tahan, sangat tahan, dan immune. Teknik DAS-ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi virus pada putative transgenic. Tingkat ekspresi transgene dianalisis dengan teknik Western-blot dan Northern-blot. Akumulasi gen CP yang tertranskripsi dalam nukleus berkorelasi dengan tingkat protein yang terekspresi. Analisis segregasi dilakukan untuk mengetahui pewarisan transgene dengan menyilangkan tanaman transgenik R1 dengan tanaman nontransgenik (Bau et al. 2003). Selanjutnya diperlukan perbaikan tanaman transgenik melalui persilangan tanaman transgenik dengan galur yang mempunyai sifat agronomis baik. Markah molekuler RFLP dan RAPD dapat digunakan dalam proses seleksi keturunan tanaman transgenik yang
dihasilkan (Bahagiawati 2004).
CP-MR merupakan pendekatan inovatif dalam pengendalian virus tanaman melalui perakitan varietas transgenik dengan mentransfer gen CP virus (Beachy 1990). Di IRRI telah dilakukan perakitan varietas transgenik dengan mentranrfer gen CP, polimerase, protease, RNase H, dan antisens RNA dari RTBV pada varietas IR64, TN1, Taipei 309, dan Kinuhikari dengan promoter RTBV dan Cauliflower mosaic virus (35S), namun tanaman yang dihasilkan belum dapat mencegah atau mengurangi infeksi RTBV (Azzam et al. 1999). Perakitan pepaya transgenik tahan Papaya ringspot virus (PRSV) dengan mentransfer gen CP dari strain kuat lokal Taiwan (PRSV YK) dengan A. tumifaciens menghasilkan pepaya transgenik yang bersifat broad spectrum resistance (Bau et al. 2003). Hal ini membuka peluang dalam eksplorasi strain virus tungro berdasarkan virulensinya di seluruh daerah endemis penyakit tungro di Indonesia untuk memperoleh strain kuat virus tungro yang selanjutnya dapat digunakan sebagai materi perakitan varietas transgenic tahan virus tungro. Tanaman padi transgenik yang dirakit berdasarkan pendekatan Rep-MR, CP-MR, dan MP-MR menunjukkan ketahanan yang bersifat broad spectrum dan mempunyai durabilitas yang tinggi (Azzam and Chancellor 2002). Pemanfaatan varietas padi transgenik yang mengandung gen tahan virus di Indonesia diharapkan dapat mencegah penyebaran virus dan mengendalikan penyakit tungro dalam skala yang luas, sehingga sesuai untuk pengendalian penyakit tungro berdasarkan konsep epidemiologi. Namun demikian, jalan yang harus ditempuh masih sangat panjang, sehingga tidak dapat diharapkan dalam waktu 5-10 tahun ke depan, mengingat proses perakitan varietas transgenik membutuhkan waktu yang relatif lama dan hal yang paling penting adalah varietas transgenik harus memenuhi persyaratan uji keamanan hayati dan keamanan pangan.
C. KESIMPULAN
Bioteknologi dengan memanfaatkan biologi molekuler dapat berperan dalam pengelolaan penyakit tungro berdasarkan aspek biologi, ekologi, dan epidemiologi. Berbagai teknik molekuler berpeluang untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya diagnosis penyakit tungro, deteksi virus tungro, identifikasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau, patogenisitas virus tungro dan patogenesis penyakit tungro serta penularannya, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau, perakitan varietas tahan virus tungro dan wereng hijau serta perakitan tanaman transgenik tahan virus tungro. Berbagai teknik molekuler perlu dimanfaatkan oleh peneliti bioteknologi di Indonesia.

D. PENUTUP
KELEBIHAN BIOTEKNOLOGI
Banyak pakar memandang rekayasa genetika secara sederhana sebagai kelanjutan dari teknik pemuliaan konvensional karena kedua teknik itu pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat-sifat baru yang berguna. Meskipun pada dasarnya rekayasa genetika dan pemuliaan konvensional memiliki kesamaan. Namun kedua teknik itu juga memiliki perbedaan – perbedaan penting. Parameter Pemuliaan konvensional Rekayasa Genetika tingkat organisme utuh sel atau molekul ketepatan sekumpulan gen satu tunggal kepastian perubahan genetika sulit atau perubahan bahan tidak mungkin dikarakterisasi genetika dapat dikarakterisasi dengan baik batasan taksonomi hanya dapat dipakai dalam tidak ada batasan suatu spesies atau satu genus taksonomi. Dalam rekayasa genetika, kita memindahkan satu gen tunggal yang fungsinya sudah diketahui dengan jelas, sedangkan pada umumnya yang dipindahkan berupa kumpulan gen, meskipun dalam metode pemuliaan tanaman ada metode silang balik ( back cross ) yang tujuannya mentransfer satu gen sehingga diperoleh galur isogenik. Dengan meningkatkan ketepatan dan kepastian manipulasi genetika, maka resiko untuk menghasilkan organisme dengan sifat – sifat yang tidak diharapkan dapat diminimumkan . Model uji coba (trial-and-error) dalam pemuliaan selektif dapat dibuat menjadi lebih tepat melalui rekayasa genetika.
Pemuliaan konvensional mengawinkan organisme dari satu spesies, dari spesies yang berbeda, atau kadang-kadang dari genus yang berbeda. Dalam rekayasa genetika sudah tidak ada lagi hambatan taksonomi. Manipulasi genetika tidak lagi terbatas pada sekelompok kecil variasi genetika. Bila kita inginkan suatu bahan genetika untuk disisipkan pada satu organisme, maka tidak lagi menjadi masalah seberapa jauh hubungan kekerabatan organisme pemilik bahan genetika tersebut. Sebagai contoh gen penyandi antibodi dari manusia dapat dipindahkan ke tanaman tembakau sehingga kita dapat memanen antibodi bukan dari hewan percobaan, yang sering kali kurang disukai oleh kelompok pecinta binatang, tetapi langsung dari ekstrak daun tembakau. Kemampuan memindahkan gen dari satu organisme ke organisme lain tanpa batasan taksonomi memungkinkan kita memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa, yaitu keragaman hayati ( biodiversity ). Tentu saja semua usaha itu dapat dilakukan dengan dampak yang minimal bila kita mau belajar dari kearifan proses – proses biologi yang mendasari keragaman tersebut.
KEKURANGAN BIOTEKNOLOGI
Pemuliaan tanaman konvensional menggunakan hasil observasi fenotipe, kadang –kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu unggul dalam populasi pemuliaan. Namun demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan genetik dari sebagian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat dengan factor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan tehnik dan metodologi pemuliaan molekular dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “ pemuliaan molekuler “ ini telah menjanjikan kesederhanaan terhadap kendala dan tantangan tersebut. Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan sifat-sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang disebabkan oleh faktor eksternal lokus genetik ganda.
Selanjutnya dengan kemajuan iptek di bidang teknologi molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana beberapa aspek mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain : (1) identifikasi dan penentuan letak gen; (2) pemindahan gen tak terbatas; (3) peningkatan pemahaman proses genetik dan fisiologi tanaman; (4) perbaikan diagnosis penyakit dengan metode molekuler ; (5) pengaturan produksi protein pada tanaman serealia dan kacang – kacangan untuk meningkatkan gizi; (6) memudahkan dalam menghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama, penyakit dan cekaman lingkungan; serta (7) memungkinkan dilakukannya transformasi, konstruksi, dan ekspresi genetik melalui teknologi DNA.












DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Harian Kompas 18 September 2001
Heru, 2009, Peranan Bioteknologi Dalam Pengelolaan Penyakit Tungro. Peneliti pada Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sulawesi Selatan. Diakses Pada tanggal 3 Januari 2011.
Lubis, 1998 . Pemuliaan Tanaman dan Bio Molekuler. Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian.Universitas Sumatera Utara. Diakses Pada tanggal 1 Januari 2011.
Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat, dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan program penelitian pengendalian terpadu penyakit tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar