selamat Datang

silahkan baca,,silahkan ambil ilmunya semoga bermanfaaat..

Rabu, 09 Februari 2011

RAKIT APUNG

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dalam budidaya secara hidroponik, tanaman mendapatkan makanan atau nutrisi dari larutan yang disiramkan pada media tanam. Dengan demikian tanaman tetap mendapatkan nutrisi untuk pertumbuhannya. Larutan pupuk atau nutrisi yang disiramkan pada media bisa bermacam-macam.
Rakit apung atau Floating hidroponik sistem (FHS) adalah salah satu sistem budidaya secara hidroponik tanaman (sayuran, terutama) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam sehingga akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi. Karakteristik system ini antara lain adalah terisolasinya lingkungan perakaran sehingga fluktuasi suhu larutan nutrisi akan lebih rendah.
Pada sistem ini larutan tidak disirkulasikan, namun dibiarkan tergenang dan ditempatkan dalam suatu wadah tertentu untuk menampung larutan tersebut. Dengan demikian sistem ini dapat dimungkinkan tanaman akan kekurangan oksigen, yang nantinya akan merubah pH larutan. Dengan berubahnya pH larutan maka akan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik karena penyerapan nutrisi oleh tanaman kurang optimal.
2. Tujuan
Tujuan dari praktikum uji macam nutrisi pada sistem rakit apung adalah mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pertumbuhan tanaman dalam sistem rakit apung.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Floating hidroponik sistem (FHS) adalah budidaya tanaman (terutama sayuran) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam. Dalam sistem ini akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi (Hartus, 2007 ).
Teknik hidroponik sistem rakit apung adalah menanam tanaman pada suatu rakit yang dapat mengapung di atas permukaan air atau nutrisi dengan akar menjuntai kedalam air. Styrofoam diambangkan pada kolam larutan nutrisi sedalam kurang lebih 30 cm. Pada styrofoam diberi lubang tanam dan bibit ditancapkan dengan bantuan busa atau rockwool (Sutiyoso, 2003).
Pada sistem FHS larutan nutrisi tidak disirkulasikan, namun dibiarkan pada bak penampung dan dapat digunakan lagi dengan cara mengontrol kepekatan larutan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena dalam jangka yang cukup lama akan terjadi pengkristalan dan pengendapan pupuk cair dalam dasar kolam yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sistem ini mempunyai beberapa karakteristik seperti terisolasinya lingkungan perakaran yang mengakibatkan fluktuasi suhu larutan nutrisi lebih rendah, dapat digunakan untuk daerah yang sumber energi listriknya terbatas karena energi yang dibutuhkan tidak terlalu tergantung pada energi listrik (mungkin hanya untuk mengalirkan larutan nutrisi dan pengadukan larutan nutrisi saja) (Falah, 2006).
Selain harus tetap menjaga sirkulasi larutan nutrisi juga perlu diperhitungkan konsentrasi larutan nutrisi karena hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan tanaman. Konsentrasi larutan nutrisi dapat diperoleh dengan mengetahui nilai EC (Electric Conductivity). Nilai EC dapat didapat dengan cara mengukur nilai resistensi pada larutan nutrisi. Tidak hanya kelangsungan sirkulasi larutan yang memegang peranan penting tetapi juga konsentrasi larutan dapat diketahui dengan mengukur nilai EC (dengan menggunakan EC meter) (Ridho’ah dan Hidayati, 2005).
Selain EC dan konsentrasi larutan nutrisi, suhu dan pH merupakan komponen yang sering dikontrol untuk dipertahankan pada tingkat tertentu untuk optimalisasi tanaman. Suhu dan pH larutan nutrisi dikontrol dengan tujuan agar perubahan yang terjadi oleh penyerapan air dan ion nutrisi tanaman dapat dipertahankan (Susila, 2000 ).
C. METODE PRAKTIKUM
1. Tempat dan Waktu Praktikum
Praktikum hidroponik sistem rakit apung bertempat di Laboratorium Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta dan dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 3 Oktober 2010 pukul 15.00 – 16.30 WIB.
2. Alat dan Bahan
a. Kolam Nutrisi
b. Nutrisi (AB Mix)
c. Bibit tanaman kangkung, bayam merah dan bawang
3. Cara Kerja
a. Menyiapkan bibit tanaman sayuran
b. Menanam bibit pada lubang tanam
c. Memelihara tanaman (perlu penambahan nutrisi)
d. Pengamatan terhadap komponen pertumbuhan
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Pengamatan
Tabel 1.1 Data Rekapan Tinggi Tanaman pada Hidroponik Rakit Apung
MST Tinggi Tanaman
Kangkung Bayam Kailan Daun Bawang
1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 1 2
0 0 7,5 1,7 8,3 5,13 6,42 3,96 2,35 3,2 0 0 0
1 5,85 9,75 4,75 12,2 5,88 11,2 5,2 3,70 3,8 5,93 5,57 5,25
2 8,65 19,7 34,5 11,3 6,66 15,5 4,35 4,65 4,38 5,32 14,2 13,5
3 20,1 52 49 11,4 6,75 20,9 3,38 5,73 5,63 5,55 14,5 17,4
4 54 92,5 54,3 13 7 26,9 3 6,49 6,88 9,1 20,9 18,1
5 136 - 61,8 - - - 4,12 6,74 - 7,63 27,4 33
∑ 224 181 172 56,3 31,4 80,9 20,1 24,7 23,9 33,5 82,6 87,4
x 44,7 36,3 34,3 11,3 6,28 16,2 4,01 4,94 4,78 6,71 16,5 17,5
X tot 31,65 8,82 5,57 16,9
Sumber : Laporan Sementara

Gambar 1.1 Tinggi Rekapan Semua Jenis Tanaman

Tabel 1.2 Data Rekapan Jumlah Daun pada Hidroponik Rakit Apung
MST Jumlah Daun
Kangkung Bayam Kailan Daun Bawang
1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 1 2
0 0 3 0 2 3 5,75 6,75 5,75 8 0 0 0
1 2,75 4,25 5 8,5 9 6,5 5 7,75 9 10 1 0
2 4 5,25 18,8 11,5 15 6,75 7 4,25 10 8 1 0
3 25 10,5 32,7 29 23 5 6 5,5 11 11 1 1
4 79,25 11,3 82,5 38,7 18 7 - 6,1 17 10 2 2
5 80,25 - - 85,5 - 8,5 - - - 13 3 3
∑ 191 34,3 174 146 68 39,5 24,8 29,4 55 52 8 6
x 38,3 6,85 34,7 29,2 14 7,9 4,95 5,87 11 10,4 8 1,5
X tot 27,76 8,81 9,09 1,55
Sumber : Laporan Sementara

Gambar 1.2 Rekapan Jumlah Daun Semua Jenis Tanaman Hidroponik Rakit Apung





Tabel 1.3 Pengamatan Berat Basah dan Panjang Akar Kailan
No Berat Basah (gram) Panjang Akar (cm)
1 11,59 8,7
2 17,80 11,5
3 17,95 15,5
4 14,94 8,3
X 15,75 11
Sumber : Laporan Sementara
2. Pembahasan
Kualitas larutan nutrisi dapat diketahui dengan mengukur electrical conductivity (EC). Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin tinggi arus listrik yang dihantarkan karena pekatnya kandungan garam dan akumulasi ion mempengaruhi kemampuan untuk menghantarkan listrik larutan nutrisi tersebut. Pada budidaya kailan ini EC kita 1,8 dan pH 4,5. Dengan nilai EC dan pH yang sedemikian tersebut maka EC dan pH yang kita gunakan sudah bisa dibilang cukup untuk budidaya kailan (Sayuran) walaupun EC 1,8 bukan EC yang ideal untuk tanaman sayuran. Artinya EC tersebut tidak terlalu tinggi. Namun untuk EC paling ideal untuk tanaman sayuran adalah 2,5 - 3,2. Dengan EC tinggi berarti kepekatan larutan juga tinggi, sehingga daya serap tanaman terhadap unsur hara dari larutan juga berkurang sehingga pertumbuhan tanaman juga terhambat. Untuk pH ideal untuk hidroponik sayuran adalah 4,5 - 5,5, sehingga untuk hidroponik rakit apung ini pH tanaman ideal.
Dari pengamatan kelompok kita diketahui bahwa kailan yang dibudidayakan dengan hidroponik apung adalah bertumbuh baik, karena dari minggu ke minggu setelah tanam berkembang dengan baik, tinggi dan jumlah daun pada tanaman kailan ini sudah lebih dari cukup, dengan tinggi kailan yang 6,875cm dan jumlah daun 17 pada minggu 4. Karena jika tinggi kailan lebih dari itu dan panen diundur itu justru tidak optimal untuk budidaya kailan. Bila dibandingkan dengan ulangan kailan dari kelompok lain, kailan kelompok 8 (sampel 2) ini jika dari segi tinggi lebih tinggi dari sampel 1 dan tidak lebih tinggi dari sampel 3. Namun kailan sampel 3 tersebut jika untuk ukuran kailan, tinggi tersebut terlalu tinggi.
Dari hasil rekapitulasi data semua kelompok pada tanaman kangkung, bawang, kailan dan daun bawang diketahui bahwa yang mengalami perkembang tinggi yang pesat adalah kangkung dengan rata-rata tinggi 31,645 cm, dan yang mengalami perkembangan yang paling lambat adalah kailan dengan tinggi rata-rata 5,47 cm.
Dari tabel 1.3 pengamatan berat basah kailan dan panjang akar diketahui bahwa panjang akar dan berat basah berkolerasi lurus, semakin berat bragkasan kailan, semakin tinggi pula panjang akar. Dari tabel 1.3 diketahui berat brangkasan tertinggi pada sampel 14 yaitu 17,59 gram dan panjang akar 15,5 cm. Daun bawag dan kangkung pertumbuhannya setelah minggu ke-4 mengalami kenaikan pertumbuhan yang konstan. Dari keempat tanaman tersebut yang mempunyai pertumbuhan yang baik adalah kangkung. Pertumbuhan kangkung rata-rata pada minggu terakhir pengamatan tingginya 31,65 cm dan jumlah daun rata-rata 27,76.
Pertumbuhan adalah proses kehidupan tanaman yang mengakibatkan perubahan ukuran tanaman semakin besar dan menentukan hasil pada tanaman. Tinggi tanaman merupakan ukuran yang sering diamati sebagai indikator pertumbuhan. Variable tinggi tanaman yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan ataupun perlakuan yang diterapkan (Tanjung, 2007).
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari praktikumHidroponik system rakit apung dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Tinggi tanaman rata-rata kailan kelompok 8 adalah 4,78 cm.
b. Dibandingkan tanaman yang lain, kangkung, bayam dan daun bawang, tinggi tanamna kailan paling rendah yaitu dengan rata-rata 5,47 cm. Dibanding dengan tinggi kangkung dengan rata-rata 31,645 cm.
c. Dari praktikum hidroponik sistem rakit apung didapatkan rata-rata berat basah tanaman 15,57 gram dan panjang akar rata-rata 11 cm.
d. EC dan pH pada system hidroponik rakit apung ini adalah 1,8 dan 4,5.
2. Saran
Semoga praktikum yang akan datang lebih baik lagi. Kita sebaiknya juga diajari membuat nutrisi. Sehingga kita praktikum tidak hanya menanam saja.
























DAFTAR PUSTAKA

Falah, M. A. F. 2006. Produksi Tanaman dan Makanan dengan Menggunakan Hidroponik - Sederhana hingga Otomatis -. http://io.ppi jepang.org/article .php?id=200. Diakses tanggal 17 Desember 2010.
Hartus, T. 2007 Berkebun Hidroponik secara Murah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Ridho’ah, M. dan N. R. Hidayati. 2005. Sistem Kontrol Pemberian Nutrisi pada Hidroponik Sistem NFT Berbasis Mikrokontroler. Diakses dari http://digilib.its.ac.id. Tanggal 18 Desember 2010.
Susila, E. T. 2000. Pengembangan Sentra Produksi Sayuran dan Buah di Lahan Pantai melalui Hidroponik. Inovasi Online. Vol 6/XV.
Sutiyoso, Y. 2003. Hidroponik Rakit Apung. Penebar Swadaya. Jakarta
Tanjung, F.A. 2007. Pengaruh Jenis Bahan Dasar Kompos dan Lama Waktu Fermentasi terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Secara Hidroponik Substrat. Skripsi S1. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

ISOLASI DNA

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Isolasi merupakan pemishan materi dari materi lain untuk di identifikasi. Pada dasarnya isolasi DNA dapat dilakukan dari berbagai sumber, antara lain organ manusia, darah, daun, daging buah, serangga, kalus, akar batang, daging. Pada kali ini kita bahan isolasi DNA tanaman. DNA yang diisolasi dari tanaman seringkali terkontaminasi oleh polisakarida dan metabolit sekunder seperti tanin, pigmen, alkaloid dan flavonoid. Sedangkan DNA dari hewan lebih banyak mengandungn protein. Salah satu kesulitan isolasi DNA dari tanaman tinggi adalah proses destruksi dinding sel untuk melepaskan isi sel. Hal ini disebabkan karena tanaman memiliki dinding sel yang kuat dan seringkali pada beberapa jenis tanaman, kontaminasi tersebut sulit dipisahkan dari ekstrak asam nukleat. Kehadiran kontaminasi di atas dapat menghambat aktivitas enzim, misalnya DNA tidak sensitif oleh enzim restriksi dan menggangu proses amplifikasi DNA dengan PCR. Demikian pula pada hewan yang memiliki kandungan kitin (seperti serangga), memerlukan teknik dan metode khusus untuk menghancurkan sel hingga isi dapat terpisah atau keluar dari sel.
Salak (Salacca zalacca (Gaertner (Voss) merupakan tanaman asli Indonesia. Buahnya banyak digemari masyarakat karena rasanya manis, renyah dan kandungan gizi yang tinggi. Salak mempunyai nilai ekonomis dan peluang pasar yang cukup luas, baik di dalam negeri maupun ekspor. Pulau Jawa sebagai salah satu pusat keragaman kultivar salak, mempunyai potensi yang cukup besar untuk menghasilkan varietas-varietas unggul yang lebih bernilai ekonomis dan kompetitif. Pusat keragaman genetik yang ada di pulau Jawa meliputi: Condet (Jakarta), Manonjaya (Tasikmalaya- Jawa Barat), Banjarnegara, Bejalen, Saratan, Njagan, Lawu (Jawa Tengah), Sleman (Yogyakarta), Malang, Pasuruan dan Madura (Jawa Timur) (Sudaryono dkk, 1992). Keragaman varietas akan terus berkembang sejalan dengan sistim perkembangbiakan salak secara kawin silang dan penggunaan biji sebagai bahan tanaman. Namun informasi tentang keragaman genetik salak masih sangat kurang. Sehingga perlu adanya isolasi DNA untuk dilakukan pengujian dan penelitian yang merupakan tahap awal di mulainya rekayasa genetika tanaman.
Maka pada praktikum kali ini mencoba untuk mengisolasi DNA dari tanaman Salak. Isolasi DNA salak dengan mengambil potongna daun muda kemudian di ekstraksi dan di dapatkan DNA dari tanaman Salak. Kemudian selanjutnya di identifikasi DNA tersebut.
2. Tujuan
Pada praktikum Bioteknologi Acara 1 Isolasi DNA bertujuan untuk melakukan isolasi DNA Salak dengan metode ekstraksi untuk mendapatkan DNA dari tanaman Salak.
3. Waktu dan Tempat Praktikum
Pada praktikum Bioteknologi Acara I Isolasi DNA dilaksanakan pada tanggal 22 Desember 2010 pukul 15.00 di Laboratorim Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

B. Tinjauan Pustaka
Penelitian keragaman genetik tanaman buah merupakan salah satu kegiatan penting untuk mendukung pemuliaan tanaman. Perbedaan tanaman dapat dideteksi melalui beberapa penanda, antara lain dengan pola pita DNA (Lamadji 1998), yang sering disebut sebagai penanda molekuler. Penanda molekuler berperan penting dalam konservasi dan pengelolaan sumber daya genetik tanaman (Karp et al. 1997).
Untuk memudahkan penghancuran sampel dari bahan seperti ini, umumnya ekstraksi DNA menggunakan nitrogen cair. Namun, masalah akan muncul bila lokasi penelitian jauh dari pusat industri sehingga sulit mendapatkan nitrogen cair. Oleh karena itu, perlu metode isolasi DNA yang mudah dan tidak memerlukan nitrogen cair, tetapi dapat menghasilkan DNA yang berkualitas tinggi untuk proses amplifikasi (Imran, 2002).
Protokol yang digunakan merupakan prosedur ekstraksi berbasis CTAB yang dikembangkan oleh Doyle dan Doyle (1987) dan dimodifikasi oleh Santoso (2005), serta dilaksanakan secara preparasi mini. Contoh daun dikeluarkan dari freezer dan ditimbang 100 mg tanpa tulang daun lalu diletakkan dalam mortar pestel dan ditambah 0,5 ml bufer ekstraksi CTAB (CTAB: 4,1 g NaCl, 10 g CTAB, 0,5 M EDTA pH 8,0 (Sumiati, 2009).
Ekstraksi DNA menggunakan nitrogen cair untuk melisis dinding sel dapat mengeluarkan semua isi sel yang kemudian ditampung dalam larutan penyangga yang berisi Tris HCl dan EDTA. Dinding sel juga dapat dipecahkan dengan penggerusan menggunakan bufer ekstraksi diikuti dengan penghangatan pada suhu 65°C. Detergen seperti sodium dodecil sulfat (SDS), sarkosil, dan CTAB dapat digunakan untuk proses lisis (Subandri, 2006).
Penggunaan bufer CTAB sebagai pengganti nitrogen cair untuk ekstraksi dapat menghasilkan produk DNA yang berkualitas yang ditunjukkan oleh pita DNA genom Dengan demikian, bufer CTAB dapat digunakan untuk mengisolasi DNA pada tanaman jeruk. Produk ekstraksi DNA yang berkualitas baik ditunjukkan dengan pita DNA yang terlihat tebal dan bersih bila divisualisasi menggunakan image gel elektroforesis (Anonim, 2008).
Teknik Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) yaitu teknik pengujian polimorfisme DNA berdasarkan pada amplifikasi dari segmen-segmen DNA acak yang menggunakan primer tunggal yang sekuen nukleotidanya ditentukan secara acak. Primer tunggal ini biasanya berukuran 10 basa. PCR dilakukan pada suhu anealing yang rendah yang memungkinkan primer menempel pada beberapa lokus pada DNA. Aturan sederhana untuk primer adalah terdiri atas 18- 28 susunan basa dengan persentase G+C 50-60% (Subandiyah 2006).





C. Alat, Bahan, Cara Kerja
1. Alat
a. Sentrifuse h. Petridish
b. Mikropipet i. Erlemenyer
c. Ependorf j. Inkubator
d. Water bath k. Pinset
e. Mortar
f. Timbangan
g. Thermometer

2. Bahan
a. Daun Salak f. Etanol 70 %
b. Larutan Stok g. DNA Loading
c. Chlorofoam h. Agarase
d. 2,5 Sodium asetat i. TAE
e. Aquadest
3. Cara Kerja
1. Sebelum di gunkanan memanaskan buffer ekstraksi dalam suhu 65 0C selama 15-30 menit
2. Menimbang sampel daun seberat 100-150 mg.
3. Melumatkan menjadi tepung halus dengan mortir menggunakan Nitogen cair.
4. Memindahkan tepung yang telah halus dalam tabung steril.
5. Menambahkan 1 ml larutan ekstraksi dan diinkubasi pada suhu 65 0C selama 60 menit.
6. Menambahkan 800 µl chlorofoam mencampurnya hingga homogeny
7. Mencentrifugasi pada kecapatan 12.000 RPM selama 10 menit
8. Mengambil cairan lapisan atas memindahkannya ke tabung baru.
9. Menambahkan 1/10 dari volume 2,5 M Sodium Asetat, dan 650 µl (minimal 1 : 1 dengan volume ) Isopropanol dingin mencampur hingga homogeny kemudian mencentrifugasi pada kecepatan 13.000 RPM selama 5 menit.
10. Membuang supernatant pellet di cuci dengan alcohol 70 %.
11. Mengeringkan pellet DNA dengan kering angin (Centrifuge MILLI-DRY seperlunya).
12. Melarutkan DNA 200 µl TE, Menghitung konsentrasi DNA dengan Spektrofotometer OD 260 dan 280.
13. Menympannya dalam suhu -20 0C.

D. Hasil Dan Pembahasan
1. Hasil

Gambar 1.1. Alat Sentrifuse

Gambar 1.2 Mikropipet

Gambar 1.3 Bahan Yang Akan Diisolasi DNAnya



Gambar 1.4 Ependorf

Gambar 1.5 Sentrifuse Bagian Dalamnya
2. Pembahasan
Asam deoksiribonukleat, lebih dikenal dengan DNA (bahasa Inggris: deoxyribonucleic acid), adalah sejenis asam nukleat yang tergolong biomolekul utama penyusun berat kering setiap organisme. Di dalam sel, DNA umumnya terletak di dalam inti sel.
Secara garis besar, peran DNA di dalam sebuah sel adalah sebagai materi genetik; artinya, DNA menyimpan cetak biru bagi segala aktivitas sel. Ini berlaku umum bagi setiap organisme.
Pengujian DNA dilakukan untuk mendapatkan genetik tanaman yang unggul sesuai dengan yang kita inginkan. Sehingga bermangaat bagi kehidupan manusia. Pengujian DNA biasanya dilakukan untuk dalam bidang pertanian ntuk mendapat kan tanaman yang tahan dan resisten terhadap hama dan penyakit tanaman
Pengujian DNA adalah suatu teknik biologi molekular yang dipakai untuk kepentingan pengujian forensik terhadap materi uji berdasarkan profil DNA-nya. Teknik ini dikenal pula sebagai penyidikan DNA, penyidikjarian genetik (genetic fingerprinting, sering disingkat sidik jari DNA), DNA profiling, atau semacamnya. Dalam bidang hukum, materi uji hampir pasti adalah ekstrak dari tubuh manusia, misalnya dalam penentuan orang tua atau penyelidikan pemerkosaan/pembunuhan. Namun demikian, penerapan teknik ini juga dipakai untuk hewan maupun tumbuhan, misalnya dalam menentukan kemurnian suatu galur atau kultivar, atau dalam menguji masuknya materi genetik tertentu (misalnya dalam mendeteksi materi transgenik) ke dalam populasi/bahan makanan.
Pengujian DNA memanfaatkan profil DNA, yaitu sehimpunan data yang menggambarkan susunan DNA yang dianggap khas untuk individu yang menjadi sampelnya. Dalam pengujian DNA, hanya sebagian kecil berkas DNA yang dipakai untuk pengujian. Sasaran utama adalah bagian DNA yang berisi pengulangan urutan basa, suatu bagian DNA yang dikenal sebagai pengulangan berurutan yang bervariasi (variable number tandem repeats, VNTR). VNTR dapat berupa minisatelit maupun mikrosatelit. Dengan demikian, pengujian DNA adalah salah satu teknik penggunaan penanda genetik. Karena menggunakan penanda, pengujian DNA bukanlah teknik sekuensing genom menyeluruh (full genome sequencing), yang sering juga disebut dalam literatur sebagai DNA profiling.
Metode pengujian ini pertama kali dilaporkan pada publikasi 1984 oleh Sir Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, Inggris; konon penemuannya terjadi secara kebetulan. Teknik ini dikomersialkan pada tahun 1987 ketika ICI membuka pusat pengujian DNA di Inggris. Metode ini sekarang menjadi prosedur forensik rutin di banyak negara.
Pada isolasi DNA menggunakan daun muda atau pucuk jal ini disebabkan bahwa di daun pucuk dapat menekan senyawa polifenol dan polisakarida sehingga dapat memperbesar kemungkinan keberghasilan untu melakukan isolasi DNA yang kita inginkan.
Metode yang digunakan untuk mengisolasi DNA dari berbagai jenis tanaman, organ tanaman, maupun jaringannya dapat dilakukan dengan berbagai cara. Namun pada intinya terdapat tiga faktor utama yang sangat penting untuk dalam melakukan purifikasi dan ekstraksi DNA secara maksimal. Pertama adalah cara dalam menghomogenkan jaringan tanaman khususnya adalah dinding selnya. Kedua adalah komposisi dari larutan buffer yang ditambahkan dalam penggerusan jaringan tanaman dan yang ketiga adalah penghilangan enzim penghambat-polisakarida.
Tahapan yang dilakukan untuk mendapatkan DNA tanaman pisang adalah penggerusan atau homogenasi daun Salak dengan penambahan nitrogen cair. Fungsinya adalah untuk mempermudah penggerusan dan menjaga agar DNA tidak mengalami kerusakan. Hal ini dilakukan sampai didapatkan daun tanaman pisang yang telah hancur. Selanjutnya dilakukan penambahan buffer ekstrak yang berfungsi untuk melisiskan membran sel dan membran fosfolipid bilayer, atau dalam praktikum kali ini hanya menggunakan nitrogen cair karena memiliki fungsi yang sama dengan bufer ekstrak.
Kemudian dilakukan inkubasi sampel dalam water bath bersuhu 60 derajat C selama 60 menit. Hal ini dilakukan untuk optimalisasi kerja buffer ekstrak. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi sampel dengan kecepatan 12000 rpm selama 10 menit hal ini dilakukan untuk memisahkan debris dan komponen sel lain yang menjadi pengotor dengan DNA. Hasilnya didapatkan bahwa supernatan berwarna hijau sedangkan pelet berwarna putih kehijauan.
Supernatan yang telah diperoleh selanjutnya diambil dan ditambahkan dengan larutan Phenol:Chloroform:Isolamyl Alkohol (PCI). Hal ini dilakukan untuk mengekstraksi DNA dari kontaminan. Fenol merupakan pelarut organik yang dapat melarutkan protein, lipid dan molekul lain sepergi polisakarida sehingga diharapkan akan didapatkan supernatan yang berisi DNA bebas kontaminan. Setelah pencampuran, homogenat tersebut divorteks untuk optimalisasi homogenasi.
Selanjutnya dilakukan sentrifugasi homogenat dengan PCI tersebut dengan kecepatan 13000 rpm selama 5 menit dalam. Hasil yang didapatkan adalah supernatan dan pelet yang berada pada tiga lapisan lapisan atas berwarna hijau jernih, lapisan tengah berwarna hijau keruh dan pelet yang berwarna hijau tua. Kemudian diambil supernatan pada lapisan paling atas dan ditambahkan larutan Chloroform:Isoamyl Alkohol untuk presipitasi lanjutan. Kemudian kembali dilakukan vorteks dan sentrifugasi.
Hasil yang didapatkan akan terbentuk kembali supernatan dan pelet pada eppendorf, kemudian dilakukan pengambilan supernatan. Supernatan ditambahkan dengan amonium nitrat dan etanol absolut untuk presipitasi lanjutan dan menghilangkan kontaminan. Hasilnya diketahui terbentuk filamen-filamen DNA dalam larutan jernih tersebut. Kemudian dilakukan inkubasi selama satu malam untuk optimalisasi presipitasi.
Funsdi alat-alat isolasi DNA. Sentrifuse berfungsi memisahkan antara bagian yang padat dan cair (supernatant dan debsis). Mikropipet berfungsi untuk mengambil larutan supernatant dan zat kimia lain. Ependorf berfungsi untuk wadah sampel yang akan di ekstraksi Water bath berfungsi untuk memanaskan DNA sampel. Mortir berfungsi untuk menghaluskan sampel yang kan di ekstraksi. Timbangan berfungsi untuk menimbang jumlah sampel yang dibutuhkan. Thermometer berfungsi untuk mengukur suhu. Petridish berfungsi untuk membersihkan sampel.. Erlemenyer berfungsi untuk mencairkan agarase. Incubator berfungsi untuk inkubasi sampel. Pinset berfungsi untuk mengambil material kecil. Sarung tangan berfungsi untuk melindungi tangan dari zat berbahaya

E. Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan
a. Pengujian DNA dilakukan untuk mendapatkan genetik tanaman yang unggul sesuai dengan yang kita inginkan.
b. Metode yang digunakan untuk mengisolasi DNA dari berbagai jenis tanaman, organ tanaman, maupun jaringannya dapat dilakukan dengan berbagai cara.
c. Hasil yang didapatkan akan terbentuk kembali supernatan dan pelet pada eppendorf.
d. Hasil isolasi DNA berupa supernatan dan cairan bening.
2. Saran
Praktikumnya lebih terkonsep yang jelas lagi.

PERANAN BIOTEKNOLOGI DALAM BIDANG PERTANIAN DALAM PENGENDALIAN OPT

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, fungi, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.
Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan.
Tungro merupakan salah satu penyakit penting tanaman padi yang menjadi penghambat dalam peningkatan stabilitas produksi padi. Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, di antaranya dengan penerapan teknologi pengendalian penyakit tungro terpadu yang bertujuan untuk mencegah atau menghindarkan pertanaman dari penularan tungro dengan komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan, dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian, teknologi tersebut kurang sesuai untuk daerah dengan pola tanam tidak serempak, sehingga dikembangkan strategi pengendalian penyakit tungro dengan eliminasi RTSV. Perkembangan bioteknologi berbasis biologi molekuler dapat digunakan untuk membantu dalam pengendalian penyakit tungro melalui pendekatan biologi, ekologi, dan epidemiologi penyakit tungro. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah melahirkan berbagai teknik yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya diagnosis penyakit tungro, deteksi dini infeksi virus tungro dan vektor infektif, identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau, pemantauan terjadinya resistensi wereng hijau terhadap suatu varietas, munculnya strain virus tungro dan biotipe wereng hijau yang baru, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau, perakitan varietas tahan berdasarkan sifat ketahanannya terhadap virus tungro dan wereng hijau serta perakitan varieta transgenik tahan virus tungro. Hal tersebut merupakan tantangan sekaligus.
Asia lainnya seperti India, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Thailand (Ling 1979, Suranto 2004). Di Indonesia, kehilangan hasil padi akibat penyakit tungro dalam kurun waktu 1996-2002 mencapai 12.078 t/tahun atau senilai Rp 12-15 milyar (Soetarto et al. 2001). Berbagai usaha pengendalian telah dilakukan, di antaranya dengan penerapan teknologi pengendalian penyakit tungro secara terpadu yang bertujuan untuk mencegah atau menghindarkan pertanaman dari ancaman tungro (escape strategy) dengan komponen utama waktu tanam tepat, penggunaan varietas tahan, dan pergiliran varietas tahan. Namun demikian, tidak semua komponen dapat diterapkan, waktu tanam tepat kurang sesuai untuk daerah dengan pola tanam tidak serempak, ketersediaan varietas tahan masih terbatas, sehingga tidak mencukupi untuk pewilayahan dan distribusi berdasarkan sifat ketahanan spesifik lokasi. Perbedaan geografis dan intensitas interaksi virus tungro dan wereng hijau dengan varietas menyebab- kan adanya variasi genetik strain virus tungro dan biotipe wereng hijau. Oleh karena itu, pengendalian penyakit tungro harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti tingkat ketahanan varietas, kepadatan populasi dan efisiensi penularan oleh wereng hijau, penyebaran virus, ketersediaan sumber inokulum, kondisi lingkungan dan sosioekonomi petani (Hasanuddin et al. 2001). Implementasi bioteknologi berbasis biologi molekuler sangat membantu pengendalian penyakit tungro berdasarkan aspek biologi, ekologi dan epidemiologi penyakit. Kemajuan di bidang biologi molekuler telah melahirkan berbagai teknik yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya (1) diagnosis penyakit tungro, (2) deteksi dini infeksi virus tungro dan vektor infektif (mengetahui keberadaan sumber inokulum dan penularan- nya), (3) identifikasi dan karakterisasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau (keragaman genetik virus tungro dan biotipe wereng hijau berdasarkan perbedaan virulensi virus tungro, efisiensi penularan oleh wereng hijau dan perbedaan geografis), (4) pemantauan resistensi wereng hijau terhadap suatu varietas dan munculnya strain virus tungro dan biotipe wereng hijau yang baru, (5) karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau (keragaman genetik varietas berdasarkan tingkat ketahanannya), dan (6) perakitan varietas tahan berdasarkan sifat ketahanannya terhadap virus tungro dan wereng hijau (varietas tahan spesifik lokasi) serta perakitan varietas transgenik tahan virus tungro.
Beberapa teknik molekuler atau teknologi DNA yang banyak digunakan dalam penelitian dan pengelolaan hama dan penyakit tanaman dan pengembangan pemuliaan tanaman di antaranya (1) restriction fragment length polymorphism (RFLP) yaitu markah berdasarkan hibridisasi DNA, (2) randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) dan amplified fragment length polymorphism (AFLP), yaitu markah yang diidentifikasi menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer (Garcia et al. 2004) dan 3) sequence tagged sites (STS), sequence characterized amplified regions (SCARs), simple sequence repeat (SSRs) atau mikrosatelit (microsatellites) dan single nucleotide polymorphism (SNPs), yaitu markah berdasarkan PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik pada DNA target (Azrai 2005). Berdasarkan tujuan, target, efisiensi, dan efektifitasnya, terdapat beberapa modifikasi teknik PCR, di antaranya reversed transcription-PCR (RT-PCR), repetitive-PCR (Rep-PCR), loop-mediated isothermal amplification (LAMP), dan RT-LAMP (Mori et al. 2006). Perkembangan rekayasa genetic melalui metode kloning DNA dan teknologi rekombinan DNA memungkinkan gen tunggal dari suatu varietas dapat ditransfer ke varietas yang lain (teknologi varietas transgenik).


B. ISI
PRINSIP DASAR BIOTEKNOLOGI DAN CONTOH PENERAPAN DALAM BIDANG PERTANIAN
Perakitan Varietas Tahan Penyakit Tungro
Penanaman varietas tahan virus tungro dan wereng hijau merupakan komponen yang paling efektif dalam pengendalian tungro (Sama 1985, Loebenstein and mGera 1993, Daradjat et al. 1999). Ketahanan varietas terhadap virus tungro akan menekan intensitas penyakit dan ketahanan terhadap wereng hijau akan menekan penularan virus tungro. Namun demikian, varietas tahan tidak boleh ditanam terus-menerus karena dapat meningkatkan tekanan seleksi vector dan memungkinkan berkembangnya wereng hijau biotipe baru (Daradjat et al. 1999). Durabilitas ketahanan varietas terhadap wereng hijau dan virus tungro dipengaruhi oleh variasi biotipe wereng hijau dan virulensi virus tungro (Widiarta dan Kusdiaman 2002).
Keragaman ketahanan genetik varietas akan meningkatkan durabilitas ketahanan varietas, menurunkan tekanan seleksi wereng hijau dan virus tungro, serta mencegah terjadinya epidemi penyakit tungro. Oleh karena itu, perakitan varietas berdasarkan sumber gen tahan dan strain virus tungro harus terus-menerus dilakukan (Hasanuddin et al. 2001). Pengembangan varietas saat ini lebih ditekankan pada perakitan varietas tahan virus terutama RTSV karena dapat menghambat penyebaran RTBV, oleh wereng hijau, sehingga tidak terjadi infeksi ganda (Widiarta et al. 2004). Di Indonesia, telah dilepas beberapa varietas tahan tungro seperti Tukad Unda, Tukad Petanu, Tukad Balian, Kalimas, dan Bondoyudo (Daradjat et al. 2004) dan telah diperoleh pula 29 galur tahan tungro (Muliadi dan Praptana 2005). Varietas dan galur tersebut merupakan hasil seleksi berdasarkan pengamatan fenotipik dengan berbagai tingkat ketahanan. Pada masa
mendatang diperlukan identifikasi pada tingkat molekuler untuk memperoleh informasi keberadaan gen tahan yang menunjukkan suatu varietas atau galur mempunyai sifat ketahanan sebagai tetua dalam persilangan selanjutnya. Varietas ARC 11554, Utri Merah, Habiganj DW8, dan Utri Rajapan merupakan sumber ketahanan terhadap RTSV dan RTBV (Choi 2004). Utri Merah memiliki sejumlah gen yang mampu menghambat perkembangan partikel RTBV dan dua gen resesif yang mengendalikan ketahanan terhadap RTSV. Salah satu gen resesif dari Utri Merah bersifat alelik dengan gen ketahanan yang bersifat resesif pada Utri Rajapan (Shahjahan et al. 1990).
Uji kesesuaian tetua tahan terhadap penyakit tungro perlu dilakukan dengan adanya keragaman strain virus tungro dan biotipe wereng hijau. Hasil penelitian menunjukkan varietas ARC 15544, Utri Merah, dan Utri Rajapan tahan terhadap strain virus tungro dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tenggara (Praptana et al. 2005). Telah diketahui pula 10 varietas padi lokal dari Nusa Tenggara Barat tahan terhadap penyakit tungro (Praptana dan Muliadi 2006). Perakitan varietas dengan sumber tetua tahan penyakit tungro dan varietas yang disukai di suatu daerah perlu dilakukan untuk memperoleh varietas tahan spesifik lokasi. Pemanfaatan teknik molekuler dalam penelusuran sifat ketahanan varietas dan seleksi dalam persilangan sangat mendukung percepatan perakitan varietas tahan penyakit tungro.

Perakitan Varietas Padi Transgenik Tahan Virus Tungro
Pemuliaan tanaman padi berdasarkan sifat ketahanan terhadap penyakit tungro diarahkan pada perakitan varietas baru dengan spektrum ketahanan yang lebih luas dan durabilitas yang lebih tinggi. Perakitan varietas tahan wereng hijau dapat dilakukan dengan penumpukan (pyramiding) gen ketahanan untuk meningkatkan durasi ketahanan dengan memanfaatkan markah molekuler (Wang et al. 2004). Perkembangan teknologi rekombinan DNA membuka peluang perakitan tanaman tahan virus tungro melalui rekayasa genetik.
Berdasarkan faktor patogenisitas virus tungro dan penyakit tungro diharapkan dapat dilakukan perakitan varietas transgenik tahan virus tungro melalui teknologi transformasi. Perakitan varietas transgenik dapat dilakukan dengan mentrasfer gen dari virus ke tanaman yang umum dinamakan dengan pathogenderived resistance (PDR). PDR yang dapat digunakan dalam perakitan varietas transgenik di antaranya adalah coat protein-mediated resistance (CP-MR), replicase protein-mediated resistance (Rep-MR), movement protein-mediated resistance (MP-MR), satellite RNA (sat RNA) dan defective-interfering viral nucleic acids (Dasgupta et al. 2003). Biologi molekuler sangat diperlukan dalam perakitan varietas transgenik, di antaranya dalam konstruksi dan rekonstruksi plasmid, konfirmasi keberadaan transgen dan ekspresi dari gen yang ditransfer, serta kestabilannya dalam genom tanaman target (Bahagiawati 2004). Terdapat dua teknik transformasi yang telah umum digunakan yaitu transformasi langsung melalui Agrobacterium tumifaciens dengan mikroinjeksi, elektroporasi, dan penembakan partikel. Sistem transformasi dengan A. tumifaciens lebih banyak digunakan karena relatif lebih murah, efisien dan stabil dalam mengintroduksikan suatu gen (Siemens and Schieder 1996). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses transformasi dengan A. tumifaciens adalah transfer T-DNA ke dalam inti target, integrasi T-DNA pada genom tanaman target, dan ekspresi gen yang ditranfer (Sheng and Citovsky 1996).
Beberapa tahapan dalam perakitan varietas transgenik tahan virus dengan transformasi melalui A. tumifaciens adalah: (a) mengkontruksi plasmid (plasmid yang sudah tersedia, Ti-vector) dengan mentransfer gen CP beserta promotor dan terminator; (b) menyeleksi plasmid terkonstruksi dengan marker; (c) mentransfer plasmid ke A. tumifaciens; (d) transformasi oleh A. tumifaciens pada embryogenic tissue dengan metode liquid-phase wounding; dan (e) seleksi putative transformed somatic embryos sehingga diperoleh putative transgenic. Penggunaan teknik PCR untuk mendeteksi keberadaan transgene pada putative transgenic dengan primer spesifik menghasilkan putative transgenic sebagai materi pengujian. Selanjutnya dilakukan inokulasi virus dan pengamatan fenotipik berdasarkan waktu kemunculan gejala dan persentase putative transgenic yang bergejala. Kemungkinannya akan diperoleh putative transgenic dengan berbagai tingkatan ketahanan yaitu peka, tahan, sangat tahan, dan immune. Teknik DAS-ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi virus pada putative transgenic. Tingkat ekspresi transgene dianalisis dengan teknik Western-blot dan Northern-blot. Akumulasi gen CP yang tertranskripsi dalam nukleus berkorelasi dengan tingkat protein yang terekspresi. Analisis segregasi dilakukan untuk mengetahui pewarisan transgene dengan menyilangkan tanaman transgenik R1 dengan tanaman nontransgenik (Bau et al. 2003). Selanjutnya diperlukan perbaikan tanaman transgenik melalui persilangan tanaman transgenik dengan galur yang mempunyai sifat agronomis baik. Markah molekuler RFLP dan RAPD dapat digunakan dalam proses seleksi keturunan tanaman transgenik yang
dihasilkan (Bahagiawati 2004).
CP-MR merupakan pendekatan inovatif dalam pengendalian virus tanaman melalui perakitan varietas transgenik dengan mentransfer gen CP virus (Beachy 1990). Di IRRI telah dilakukan perakitan varietas transgenik dengan mentranrfer gen CP, polimerase, protease, RNase H, dan antisens RNA dari RTBV pada varietas IR64, TN1, Taipei 309, dan Kinuhikari dengan promoter RTBV dan Cauliflower mosaic virus (35S), namun tanaman yang dihasilkan belum dapat mencegah atau mengurangi infeksi RTBV (Azzam et al. 1999). Perakitan pepaya transgenik tahan Papaya ringspot virus (PRSV) dengan mentransfer gen CP dari strain kuat lokal Taiwan (PRSV YK) dengan A. tumifaciens menghasilkan pepaya transgenik yang bersifat broad spectrum resistance (Bau et al. 2003). Hal ini membuka peluang dalam eksplorasi strain virus tungro berdasarkan virulensinya di seluruh daerah endemis penyakit tungro di Indonesia untuk memperoleh strain kuat virus tungro yang selanjutnya dapat digunakan sebagai materi perakitan varietas transgenic tahan virus tungro. Tanaman padi transgenik yang dirakit berdasarkan pendekatan Rep-MR, CP-MR, dan MP-MR menunjukkan ketahanan yang bersifat broad spectrum dan mempunyai durabilitas yang tinggi (Azzam and Chancellor 2002). Pemanfaatan varietas padi transgenik yang mengandung gen tahan virus di Indonesia diharapkan dapat mencegah penyebaran virus dan mengendalikan penyakit tungro dalam skala yang luas, sehingga sesuai untuk pengendalian penyakit tungro berdasarkan konsep epidemiologi. Namun demikian, jalan yang harus ditempuh masih sangat panjang, sehingga tidak dapat diharapkan dalam waktu 5-10 tahun ke depan, mengingat proses perakitan varietas transgenik membutuhkan waktu yang relatif lama dan hal yang paling penting adalah varietas transgenik harus memenuhi persyaratan uji keamanan hayati dan keamanan pangan.
C. KESIMPULAN
Bioteknologi dengan memanfaatkan biologi molekuler dapat berperan dalam pengelolaan penyakit tungro berdasarkan aspek biologi, ekologi, dan epidemiologi. Berbagai teknik molekuler berpeluang untuk dimanfaatkan dalam pengelolaan penyakit tungro, di antaranya diagnosis penyakit tungro, deteksi virus tungro, identifikasi strain virus tungro dan biotipe wereng hijau, patogenisitas virus tungro dan patogenesis penyakit tungro serta penularannya, karakterisasi ketahanan varietas terhadap virus tungro dan wereng hijau, perakitan varietas tahan virus tungro dan wereng hijau serta perakitan tanaman transgenik tahan virus tungro. Berbagai teknik molekuler perlu dimanfaatkan oleh peneliti bioteknologi di Indonesia.

D. PENUTUP
KELEBIHAN BIOTEKNOLOGI
Banyak pakar memandang rekayasa genetika secara sederhana sebagai kelanjutan dari teknik pemuliaan konvensional karena kedua teknik itu pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menggabungkan materi genetika dari sumber yang berbeda untuk menghasilkan organisme yang memiliki sifat-sifat baru yang berguna. Meskipun pada dasarnya rekayasa genetika dan pemuliaan konvensional memiliki kesamaan. Namun kedua teknik itu juga memiliki perbedaan – perbedaan penting. Parameter Pemuliaan konvensional Rekayasa Genetika tingkat organisme utuh sel atau molekul ketepatan sekumpulan gen satu tunggal kepastian perubahan genetika sulit atau perubahan bahan tidak mungkin dikarakterisasi genetika dapat dikarakterisasi dengan baik batasan taksonomi hanya dapat dipakai dalam tidak ada batasan suatu spesies atau satu genus taksonomi. Dalam rekayasa genetika, kita memindahkan satu gen tunggal yang fungsinya sudah diketahui dengan jelas, sedangkan pada umumnya yang dipindahkan berupa kumpulan gen, meskipun dalam metode pemuliaan tanaman ada metode silang balik ( back cross ) yang tujuannya mentransfer satu gen sehingga diperoleh galur isogenik. Dengan meningkatkan ketepatan dan kepastian manipulasi genetika, maka resiko untuk menghasilkan organisme dengan sifat – sifat yang tidak diharapkan dapat diminimumkan . Model uji coba (trial-and-error) dalam pemuliaan selektif dapat dibuat menjadi lebih tepat melalui rekayasa genetika.
Pemuliaan konvensional mengawinkan organisme dari satu spesies, dari spesies yang berbeda, atau kadang-kadang dari genus yang berbeda. Dalam rekayasa genetika sudah tidak ada lagi hambatan taksonomi. Manipulasi genetika tidak lagi terbatas pada sekelompok kecil variasi genetika. Bila kita inginkan suatu bahan genetika untuk disisipkan pada satu organisme, maka tidak lagi menjadi masalah seberapa jauh hubungan kekerabatan organisme pemilik bahan genetika tersebut. Sebagai contoh gen penyandi antibodi dari manusia dapat dipindahkan ke tanaman tembakau sehingga kita dapat memanen antibodi bukan dari hewan percobaan, yang sering kali kurang disukai oleh kelompok pecinta binatang, tetapi langsung dari ekstrak daun tembakau. Kemampuan memindahkan gen dari satu organisme ke organisme lain tanpa batasan taksonomi memungkinkan kita memanfaatkan sumber daya alam yang luar biasa, yaitu keragaman hayati ( biodiversity ). Tentu saja semua usaha itu dapat dilakukan dengan dampak yang minimal bila kita mau belajar dari kearifan proses – proses biologi yang mendasari keragaman tersebut.
KEKURANGAN BIOTEKNOLOGI
Pemuliaan tanaman konvensional menggunakan hasil observasi fenotipe, kadang –kadang didukung oleh statistika yang rumit dalam menyeleksi individu unggul dalam populasi pemuliaan. Namun demikian, tugas ini terkesan sulit karena kerumitan genetik dari sebagian besar sifat-sifat agronomi dan adanya interaksi yang kuat dengan factor lingkungan. Oleh karena itu pemuliaan tanaman di masa mendatang akan lebih mengarah kepada penggunaan tehnik dan metodologi pemuliaan molekular dengan menggunakan penanda genetik. Dengan penggunaan “ pemuliaan molekuler “ ini telah menjanjikan kesederhanaan terhadap kendala dan tantangan tersebut. Seleksi tidak langsung dengan menggunakan penanda molekuler yang terikat dengan sifat-sifat yang diinginkan telah memungkinkan studi individu pada tahap pertumbuhan dini, mengurangi permasalahan yang berkaitan dengan seleksi sifat-sifat ganda dan ketidaktepatan pengukuran akibat ekspresi sifat yang disebabkan oleh faktor eksternal lokus genetik ganda.
Selanjutnya dengan kemajuan iptek di bidang teknologi molekuler telah memberikan peluang untuk mengatasi keterbatasan itu, dimana beberapa aspek mikro dalam pemuliaan dapat diketahui dan dilakukan, antara lain : (1) identifikasi dan penentuan letak gen; (2) pemindahan gen tak terbatas; (3) peningkatan pemahaman proses genetik dan fisiologi tanaman; (4) perbaikan diagnosis penyakit dengan metode molekuler ; (5) pengaturan produksi protein pada tanaman serealia dan kacang – kacangan untuk meningkatkan gizi; (6) memudahkan dalam menghasilkan dan menyeleksi tanaman tahan hama, penyakit dan cekaman lingkungan; serta (7) memungkinkan dilakukannya transformasi, konstruksi, dan ekspresi genetik melalui teknologi DNA.












DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2001. Harian Kompas 18 September 2001
Heru, 2009, Peranan Bioteknologi Dalam Pengelolaan Penyakit Tungro. Peneliti pada Loka Penelitian Penyakit Tungro, Lanrang, Sulawesi Selatan. Diakses Pada tanggal 3 Januari 2011.
Lubis, 1998 . Pemuliaan Tanaman dan Bio Molekuler. Program Studi Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian.Universitas Sumatera Utara. Diakses Pada tanggal 1 Januari 2011.
Widiarta, I.N., Burhanuddin, A.A. Daradjat, dan A. Hasanuddin. 2004. Status dan program penelitian pengendalian terpadu penyakit tungro. Prosiding Seminar Nasional Status Program Penelitian Tungro Mendukung Keberlanjutan Produksi Padi Nasional. Makassar, 7-8 September 2004.